Tuesday, September 23, 2008

Berproses

September 22nd 2008 at 8:47 pm / fiksi

"Berproses"

Suatu dini hari yang sejuk di mana langit masih belum dinodai cahaya matahari setitikpun kecuali sisa bias bintang dan bulan semalam. Kuterbangun membuka jendela dan menyadari bahwa kesendirian sudah menyergap. Inilah rasa yang paling menakutkan. Terseret dalam hening yang begitu dalam, semakin lama semakin curam menusuk pilu. Sejuknya awalan subuh tak dapat dibagi untuk sekedar mencari hangat. Haruskah kusesap kafein panas sedini ini biar merasuk panas ke aliran darah? Aku duduk di tepi kasur dan melihat ada luka di dada melalui cermin berbentuk oval berbingkai kayu hitam arang. Luka yang begitu jelas tercipta semalam setelah kusayat dengan perbuatan. Luka yang tak sangka hingga subuh ini masih mengalirkan darah segar yang dalam hitungan detik selalu terdengar menetes ..tes…tes…tes… meninggalkan noda di seprei, di lantai, di karpet, atau di manapun jejakku pernah ada. Sejuknya hawa membuat ngilu, lidahku kelu, seperti ada debu yang membatu di dalam luka semalam yang terlihat selalu. Bukan sesiapa, bukan seorangpun, melainkan aku menyayatnya dengan perbuatan. Bagaimanapun, itulah aku dengan segala pikiran yang tak terbaca oleh subuh, oleh sembilu, yang ada hanyalah beranak rasa pilu, akhirnya menjadi ambigu bagi mereka yang tak tahu.
Seorang babu pasti akan habis-habisan menggerutu membersihkan ini semua. Ya, karena ini ambigu. Bagiku abu tapi baginya batu. Bukankah itu sangat berlainan? Aku dan luka adalah perbuatan, tapi dia mengandalkan penglihatan juga pengiraan. Bagaimana bisa melihat dengan jelas, dengan adil, jika dia tak tahu apa yang aku buat. Bagiku itu adalah noda akibat darah luka di dada, baginya itu adalah noda sisa rembesan haid karena salah memakai jenis pembalut. Tentu saja itu bisa membuatku jadi cemooh. Cemooh berkepanjangan yang terus dirajang menjadi kecil-kecil dan susah untuk dibereskan jika sudah berhamburan. Well..sebuah ajang bagi mereka untuk kerap membahasnya.
Sebentuk perban telah menutupi luka di dada. Ia tak terlihat, namun robeknya sampai ke hati yang tentu tak dapat kubalut kasa perban hingga ke dalam. Luka tertutup. Kuharap koyaknya segera mengatup seiring waktu berjalan. Kubelikan cairan pemutih untuk kain berwarna demi membersihkan noda di seprei dan karpet, tak lupa cairan karbol untuk membersihkan lantai. Aku pergi sekedar mencari sarapan pengisi perut. Sedikit-sedikit perihnya masih terasa di setiap langkah. Setiap perihnya datang maka aku teringat pada luka yang menganga di balik kain kasa perban. Sempat aku masuk ke toilet dan tergoda untuk mengintip luka itu, barangkali ia perlu udara untuk menjadi dingin. Beberapa saat perihnya hilang dan aku bisa tersenyum lega, namun di saat lainnya ia kembali perih dan membuatku gundah. Perasaan menyesal tiba-tiba terlintas karena tajam telah menyayat kulitku semalam. Tapi bukankah penyesalan tak akan membuat nganga luka itu seketika pulih seperti tiada luka? Butuh proses berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Bukankah penyesalan tetap membuat ambigu? Bagiku abu dan bagi yang melihat adalah batu.
Lalu aku pulang dengan perasaan sakit, perih kemudian hilang dan kemudian nyeri. Langkahku menikmati semuanya dengan diam saja. Saat perih, sakit, nyeri, ngilu datang maka aku hanya mencoba menghibur diri dan menghibur luka bahwa selanjutnya adalah proses penyembuhan. Kadang semua rasa sakit itu hilang, namun kemudian datang lagi. Kuhibur lagi tak peduli ia akan terus memberikan semua rasa sakit atau sedikit membagi bahagianya padaku. Peranku menjadi dua, penghibur luka dan penghibur diri sendiri. Tujuanku satu, berproses bersama luka untuk kembali bahagia.
Sesampainya di kamar, di luar subjek aku dan dan luka, bekas noda darah yang menetes menyisakan bercak ternyata tak dapat hilang. Sang babu menyerah diri dan menyerahkan cairan pemutih dan karbol padaku untuk membersihkannya hingga benar-benar sediakala. Ini memang susah, tapi setiap usaha akan mengeluarkan keringat, tak peduli yang mencium keringat itu suka atau tidak, aku tetap berusaha walau kadang terasa letih bersama luka. Namun bila letih, dua peranku kembali beradu.

Sebuah proses tidak diketahui kapan akan berakhir. Sebuah pelajaran masih panjang dan butuh pemahaman, bukan sekedar nilai untuk naik kelas. Bagiku biarlah abu, bagi yang melihat biarlah batu, dan aku yakin lukaku adalah milikku yang dapat aku pulihkan dengan proses walau tak selalu dengan cara menutupnya dengan kasa perban. Kelak kesendirian itu tak akan abadi. Akan selalu ada yang berbagi hangat kembali kala dini hari.

Tak perlu yang lain, tak perlu kafein atau neraka sekalipun.
Sebuah proses akan menghadirkan surga.

No comments: